Jatim Times Network Logo
Poling Pilkada 2024 Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Poling Pilkada 2024
Pemerintahan

Membedah Pasal 66: Wali Kota dan Wawali Kota Blitar Bukan Soal Retak, Tapi Soal Pembagian Tugas

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Sri Kurnia Mahiruni

15 - Oct - 2025, 08:32

Placeholder
Wali Kota Blitar, H. Syauqul Muhibbin, memberikan sambutan pada acara pelantikan mutasi dan promosi jabatan ASN di Balai Kota Blitar, Senin (13/10/2025). Dalam arahannya, ia menegaskan pentingnya profesionalisme dan integritas aparatur dalam menjalankan tugas pemerintahan. (Foto: Bagian Umum Setda Kota Blitar) 

JATIMTIMES - Isu tentang absennya Wakil Wali Kota Blitar, Elim Tyu Samba, dalam pelantikan mutasi dan promosi jabatan ASN pada 13 Oktober 2025 memantik perbincangan publik. Di media sosial, spekulasi tentang “retaknya” hubungan antara Wali Kota dan Wakil Wali Kota dengan cepat merebak. 

Namun, di balik hiruk-pikuk wacana politik itu, ada satu hal yang kerap luput dari sorotan: hukum pemerintahan memiliki garis batas yang tegas tentang kewenangan kepala daerah dan wakilnya.

Baca Juga : Aries Beruntung Besar, Virgo Dapat Tambahan Rezeki! Ini Ramalan Zodiak 15 Oktober 2025 yang Bikin Penasaran

Langkah Wali Kota Blitar, H. Syauqul Muhibbin, atau yang akrab disapa Mas Ibin, dalam melaksanakan mutasi dan promosi jabatan terhadap 123 ASN sejatinya bukan persoalan politik, melainkan pelaksanaan kewenangan konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Pasal tersebut menjadi fondasi pembagian peran antara kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam sistem pemerintahan otonomi.

Pasal yang Terlupakan

Dalam regulasi itu, disebutkan secara eksplisit bahwa wakil kepala daerah mempunyai tugas membantu kepala daerah. Bentuknya antara lain memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah, mengoordinasikan kegiatan perangkat daerah, serta memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan. Semuanya dilakukan dalam kerangka pembantuan.

Selain itu, wakil kepala daerah juga bertugas memberikan saran dan pertimbangan kepada kepala daerah dalam pelaksanaan pemerintahan. Dengan kata lain, wakil tidak memiliki kewenangan eksekutif langsung, melainkan peran koordinatif dan konsultatif yang melekat pada struktur jabatan. Dalam ayat (2) Pasal 66 ditegaskan pula bahwa semua tugas wakil kepala daerah bertanggung jawab kepada kepala daerah.

Dengan membaca ulang pasal ini secara utuh, publik dapat memahami bahwa langkah wali kota dalam mengatur mutasi ASN tidak melanggar prinsip tata pemerintahan daerah. Sebaliknya, tindakan itu merupakan bagian dari fungsi kepala daerah sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah (PPKD), yang berwenang menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian ASN di lingkup pemerintah kota.

Mutasi yang Matang, Bukan Tergesa

Dalam wawancara bersama awak media, Wali Kota Blitar, H. Syauqul Muhibbin, menyebut bahwa pelaksanaan mutasi ini justru sudah cukup tertunda.

“Daerah-daerah lain, seperti Kabupaten Bogor, bahkan sudah lima kali melakukan rotasi. Kita baru kali ini setelah delapan bulan menjabat,” ujarnya.

Ia menegaskan bahwa seluruh prosedur administratif telah dilalui, termasuk proses komunikasi internal. Menurutnya, dua minggu sebelum pelantikan, ia sudah menyampaikan rencana mutasi kepada para pejabat terkait dalam rapat resmi pemerintah kota.

“Saya sudah minta masukan dari semua pihak, termasuk Ibu Wakil Wali Kota dan Sekda. Siapa pun boleh memberi usulan pejabat yang layak dipromosikan, baik lewat surat, pesan, atau langsung,” katanya.

Dalam penuturan wali kota, proses itu bahkan dipuji oleh beberapa kepala OPD sebagai bentuk keterbukaan dan demokratisasi dalam birokrasi. Ia menilai mutasi ini murni bertujuan memperkuat efektivitas pemerintahan dan mempercepat pelayanan publik.

“Mutasi dan promosi ini adalah jabatan karier. ASN harus siap ditempatkan di mana pun. Tujuannya bukan politik, tapi profesionalisme,” tegasnya.

Konteks Hukum dan Etika Administrasi

Pernyataan tersebut sejalan dengan kerangka hukum administrasi pemerintahan. Dalam sistem otonomi daerah, kepala daerah memegang dua peran sekaligus: sebagai kepala pemerintahan daerah dan sebagai pejabat pembina kepegawaian (PPK) di wilayahnya. Dengan demikian, keputusan mengenai mutasi dan promosi jabatan ASN tidak memerlukan persetujuan bersama, melainkan merupakan kewenangan penuh kepala daerah sepanjang dilaksanakan berdasarkan asas objektivitas, kompetensi, dan kebutuhan organisasi.

Sebaliknya, keterlibatan wakil kepala daerah dalam proses teknis rotasi jabatan bukanlah kewajiban hukum, melainkan bentuk komunikasi politik yang bersifat etis. Dalam praktiknya, komunikasi itu telah dilakukan.

“Sebenarnya tidak ada problem dengan tata kelola pemerintahan. Setiap hari saya dan beliau sama-sama ngantor. Kalau ada hal yang perlu disampaikan, saya terbuka,” ujar Wali Kota Blitar, H. Syauqul Muhibbin, menanggapi isu perbedaan pandangan dengan wakilnya.

Terkait tudingan bahwa Wakil Wali Kota tidak mendapat daftar nama pejabat yang akan dilantik, Mas Ibin menjelaskan, hal itu merupakan bagian dari prosedur baku dalam sistem mutasi ASN.

“Sebelum pelantikan, nama-nama tidak diumumkan karena menyangkut disiplin ASN dan menghindari lobi jabatan. Itu normal di setiap pelantikan,” katanya.

Penjelasan serupa disampaikan Sekretaris Daerah Kota Blitar, Priyo Suhartono, yang menegaskan bahwa sejak dulu mekanisme mutasi memang bersifat rahasia dan terbatas. Dalam struktur birokrasi, kata dia, pejabat pembina kepegawaian (PPK) sepenuhnya berada di tangan kepala daerah.

“PPK itu adalah kepala daerah. Jadi, kewenangan mutasi dan rotasi sepenuhnya berada pada wali kota. Prosesnya sudah melalui Tim Penilai Kinerja atau TPK, yang sebelumnya disebut Baperjakat, yang melakukan rapat dan menghasilkan berita acara. Semua sudah kami tandatangani dan menjadi lampiran dalam proses administrasi di sistem kepegawaian,” ujar Priyo.

Ia menambahkan, jika prosedur mutasi tidak sesuai dengan regulasi, sistem Badan Kepegawaian Negara (BKN) akan otomatis menolak.

 “Kalau tidak sesuai ketentuan, BKN pasti menolak. Misalnya karena pangkatnya tidak memenuhi atau pendidikan tidak linier. Jadi tidak benar kalau mutasi ini melanggar aturan. Kalau tidak sesuai, pasti tidak keluar persetujuan teknis (pertek) dari BKN,” jelasnya.

Priyo juga menegaskan bahwa tidak ada ketentuan yang mewajibkan pelibatan wakil kepala daerah dalam tim mutasi. Peran tim hanyalah menyiapkan bahan dasar bagi kepala daerah untuk mengambil keputusan sebagai PPK.

“Dari dulu memang begitu. Baperjakat atau TPK hanya menyiapkan bahan berupa daftar nama, jabatan yang kosong, dan pertimbangannya untuk disampaikan kepada wali kota. Keputusan akhir tetap berada di tangan kepala daerah. Tidak ada aturan yang menyebut wakil kepala daerah harus terlibat dalam Baperjakat,” tegasnya.

Ia pun menjelaskan bahwa proses mutasi bersifat terbatas bukan karena menutup komunikasi, tetapi untuk menjaga integritas sistem merit ASN agar tidak disusupi kepentingan personal.

“Proses mutasi itu di mana-mana memang rahasia. Kalau ada yang meminta data sebelum pelantikan, kami arahkan untuk komunikasi langsung ke wali kota. Karena kami tidak bisa memberikan tanpa perintah. Kepala daerah itu hanya satu: wali kota,” ujar Priyo menambahkan.

Di sisi lain, Asisten Administrasi Umum dan Pembangunan Kota Blitar, Kusno, yang sebelumnya menjabat Kepala BKPSDM, menyebut bahwa mutasi kali ini turut mempertimbangkan kebutuhan organisasi dalam mengisi sejumlah jabatan eselon II yang kosong akibat pensiun.

 “Ada beberapa jabatan eselon II yang kosong dan harus diisi. Pengisian bisa melalui pergeseran antar JPT, atau seleksi terbuka. Tapi untuk menjadi definitif tetap harus melalui seleksi terbuka sesuai ketentuan,” kata Kusno.

Baca Juga : Kondisi Armada Terbatas, DLH Hanya Bisa Angkut 54 Persen Sampah di Kabupaten Malang

Priyo menambahkan, pengisian jabatan melalui seleksi terbuka memang memakan waktu lebih lama, namun menjadi bagian dari prinsip transparansi dalam birokrasi modern.

 “Untuk mengisi kekosongan, terutama di eselon II, prosesnya memang panjang karena harus melalui open bidding. Tapi prinsipnya semua dilakukan sesuai mekanisme dan tidak ada pelanggaran prosedur,” katanya.

Dengan demikian, seluruh rangkaian rotasi dan promosi pejabat di Pemerintah Kota Blitar berjalan dalam koridor hukum yang sah, di bawah kendali kepala daerah sebagai pejabat pembina ASN, dengan dukungan administratif TPK dan pengawasan BKN.

Konteks ini penting untuk menempatkan persoalan pada proporsinya. Apa yang oleh publik dianggap sebagai “ketegangan politik” sejatinya hanyalah perbedaan persepsi terhadap kewenangan administratif yang telah diatur secara tegas dalam Undang-Undang.

Mutasi

Retak? Tidak. Ini Soal Struktur

Publik barangkali mudah tergoda oleh narasi “keretakan”, namun dalam sistem birokrasi modern, hubungan wali kota dan wakil wali kota tidak dibangun atas dasar kesetaraan kewenangan, melainkan koordinasi fungsional.

Pasal 66 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 memberikan batas tegas antara fungsi eksekutif dan fungsi pendampingan.

Wali Kota Mas Ibin menolak anggapan adanya friksi personal. Ia memilih bekerja dengan fokus pada agenda pemerintahan.

“Saya normatif saja, tidak terlalu memusingkan isu seperti itu. Kerja-kerja pemerintahan saya utamakan,” ujarnya datar.

Baginya, isu politik tidak boleh mengganggu arah pembangunan kota. Ia menegaskan, saat ini Pemerintah Kota Blitar sedang mempersiapkan berbagai program prioritas: pengiriman 10 ton telur ke Depok dalam kerangka Blitar Trade Center, revitalisasi area wisata, penataan sirkuit kota, hingga program Sekolah Rakyat yang akan menerima alokasi lebih dari Rp100 miliar pada tahun depan.

“Urusan kami ini kerja-kerja kerakyatan,” ujarnya. “Kalau bicara retak, ya retak itu kan kalau pacaran. Kita ini kerja pemerintahan, bukan hubungan pribadi.”

Menempatkan Wewenang pada Relnya

Pernyataan wali kota mencerminkan dua hal penting.

Pertama, komunikasi internal sebenarnya telah dilakukan, meskipun tidak semua proses administratif perlu dipublikasikan. Kedua, langkah wali kota berada pada jalur hukum yang benar. Pasal 66 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 secara tegas menempatkan wakil kepala daerah sebagai pembantu, bukan pengambil keputusan administratif.

Dalam praktik pemerintahan, posisi wakil kepala daerah lebih menyerupai “wakil simbolik dan koordinatif” yang menjalankan tugas sesuai delegasi kepala daerah. Karena itu, setiap kebijakan yang bersifat mengikat ASN tetap harus ditandatangani oleh kepala daerah.

Memahami hal ini penting agar publik tidak keliru menafsirkan perbedaan peran sebagai bentuk perpecahan politik.

Langkah wali kota dalam menjaga kerahasiaan daftar mutasi sebelum pelantikan juga dapat dimaknai sebagai upaya menjaga netralitas birokrasi. Dalam sistem merit ASN, pengumuman dini atas mutasi berpotensi menimbulkan intervensi atau tekanan politik. Karena itu, mekanisme tertutup hingga pelantikan menjadi bagian dari tata kelola pemerintahan yang sehat.

Mutasi camat

Kepastian Tata Pemerintahan

Kota Blitar, dengan visi pemerintahan yang sedang bertransformasi menuju tata kelola modern, membutuhkan kepastian hukum dalam setiap kebijakan birokrasi.

Langkah Wali Kota Blitar dalam melaksanakan mutasi ASN sejalan dengan prinsip “the right man on the right place” serta mencerminkan semangat reformasi birokrasi nasional.

Sementara itu, dinamika antara kepala daerah dan wakil kepala daerah merupakan konsekuensi wajar dalam sistem pemerintahan dua kepala. Namun, perbedaan sudut pandang tidak selalu berarti konflik. Dalam kerangka hukum, hal itu justru bagian dari mekanisme check and balance internal.

Menafsirkan ulang Pasal 66 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 memberi ruang bagi publik untuk melihat bahwa kepemimpinan daerah bukanlah duet setara, melainkan sinergi berbasis pembagian tugas.

Kepala daerah memimpin dan mengambil keputusan; wakil kepala daerah membantu, mengoordinasikan, dan memberikan pertimbangan. Keduanya berjalan dalam satu garis loyalitas terhadap konstitusi dan rakyat.

Menegakkan Tata Kelola Sesuai Hukum

Mas Ibin mutasi

Polemik tentang mutasi ASN di Kota Blitar seharusnya menjadi momen reflektif bagi publik: bahwa pemerintahan daerah dijalankan berdasarkan aturan, bukan asumsi politik.

Langkah Wali Kota Syauqul Muhibbin mencerminkan keberanian untuk menegakkan tata kelola pemerintahan sesuai hukum, di tengah derasnya tafsir publik yang sering kali beraroma politis.

Maka benar kiranya, seperti kata wali kota: “Kalau retak-retak, emang kita pacaran apa?”

Sebuah sindiran ringan namun menegaskan satu hal penting, bahwa yang sedang dikerjakan Pemerintah Kota Blitar bukan drama personal, melainkan kerja kerakyatan yang berpijak pada Pasal 66 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.


Topik

Pemerintahan Pemkot Blitar Wali Kota Blitar Wakil Wali Kota Blitar Elim Tyu Samba



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Gresik Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

Sri Kurnia Mahiruni

Pemerintahan

Artikel terkait di Pemerintahan