Jatim Times Network Logo
Poling Pilkada 2024 Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Poling Pilkada 2024
Serba Serbi

Pangeran Pringgalaya dan Tumenggung Mertalaya: Arsitek Penaklukan Brang Wetan pada Masa Sultan Agung

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Yunan Helmy

08 - Sep - 2025, 15:48

Placeholder
Lukisan realis: Sultan Agung Hanyakrakusuma menunggang kuda. (Foto: created by JatimTIMES)

JATIMTIMES - Abad ke-17 menjadi panggung penting bagi lahirnya hegemoni politik baru di Jawa. Sejak berdirinya Mataram oleh Panembahan Senapati pada akhir abad ke-16, ambisi untuk menyatukan seluruh Jawa sudah ditanamkan. 

Namun cita-cita itu baru menemukan momentumnya pada masa Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613–1645). Di bawah kepemimpinannya, Mataram tidak hanya tampil sebagai kerajaan agraris yang kuat di pedalaman, tetapi juga sebagai kekuatan militer yang berambisi menaklukkan pesisir dan Brang Wetan—sebutan bagi kawasan timur Jawa.

Baca Juga : Fakta-Fakta Temuan Jasad Mutilasi di Pacet: Dibunuh Pacar Lalu Dipotong Jadi Ratusan Bagian

Ekspansi Mataram ke timur bukanlah semata perebutan wilayah, melainkan juga simbol perebutan legitimasi politik, spiritualitas kekuasaan, dan bahkan dendam sejarah antara pusat agraris Mataram dengan dinasti-dinasti pesisir yang masih mengaku sebagai pewaris Demak. Dalam konteks inilah muncul dua tokoh kunci, Pangeran Pringgalaya dan Tumenggung Mertalaya, putra Panembahan Senapati dengan Raden Ayu Retno Dumilah, perempuan tangguh dari Madiun.

Retno Dumilah sendiri adalah putri sulung Panembahan Timur, adipati pertama Madiun yang dalam sejarah dikenal juga sebagai Pangeran Maskumambang atau Panembahan Rangga Jumena, putra bungsu Sultan Trenggono dari Demak dengan Kanjeng Ratu Pembayun, putri Sunan Kalijaga dan Siti Zaenab (putri Syekh Siti Jenar). Dengan demikian, melalui garis ibunya, Pringgalaya dan Mertalaya adalah cucu Pangeran Timur Madiun, sekaligus cicit Sultan Trenggono dan Sunan Kalijaga. Dari jalur ayahnya, keduanya merupakan putra Senapati pendiri Mataram, pewaris sah garis kekuasaan keturunan Majapahit. 

Kedua pangeran ini, Pringgalaya dan Mertalaya, menjadi “arsitek militer” yang membuka jalan bagi Sultan Agung dalam menundukkan perlawanan para adipati di timur. Mereka bukan hanya panglima perang, melainkan juga simbol politik yang mempertautkan darah Mataram dengan trah pesisir dan Madiun. Dalam diri keduanya mengalir legitimasi tiga pusat besar kekuasaan Jawa abad ke-16 dan 17: Mataram sebagai pewaris Pajang, Madiun sebagai penerus Demak, dan spiritualitas Islam dari garis Sunan Kalijaga.

Jayaraga: Pemberontakan Pertama dan Ujian Loyalitas

Jayaraga

Sebelum Sultan Agung naik tahta, masa pemerintahan Susuhunan Hanyakrawati (Mas Jolang, 1601–1613) sudah diguncang pemberontakan internal. Adipati Panaraga, Pangeran Jayaraga, yang tidak lain adalah kakak Mas Jolang sendiri, menolak tunduk pada Mataram. Ia menobatkan diri sebagai raja di Panaraga, seolah ingin mengulang pola kerajaan-kerajaan lokal yang merdeka dari pusat.

Babad Tanah Jawi dan catatan Padmasusastra menyebutkan bahwa Jayaraga adalah putra Senapati dari selir Kajoran, sementara Mas Jolang adalah putra permaisuri Waskita Jawi. Pertikaian ini menggambarkan bagaimana sejak awal dinasti Mataram terjebak dalam rivalitas darah: anak permaisuri versus anak selir, pusat versus pinggiran.

Asal-usul Pangeran Jayaraga tidak dapat dilepaskan dari garis besar Wangsa Kajoran, sebuah trah bangsawan religius yang berakar dari Walisongo. Jalur ini bermula dari Sunan Ampel, wali besar yang bermukim di Surabaya. Sunan Ampel menikah dengan putri Ki Wirajaya atau Ki Kembang Kuning, dan dari perkawinan ini lahir Pangeran Tumapel atau Syekh Hambyah.

Dari Pangeran Tumapel inilah lahir dua tokoh penting: Sunan Tembayat atau Sunan Pandanaran II, dan Sayid Kalkum, Adipati Ponorogo II yang berkedudukan di Wotgaleh. Sayid Kalkum menikah dengan putri Batoro Katong, pendiri Ponorogo, sehingga menghubungkan darah Walisongo dengan trah Kadipaten Ponorogo. Dari perkawinan inilah lahir Pangeran Maulana Mas, yang kelak dikenal sebagai Panembahan Agung Kajoran atau Sunan Kajoran.

Sunan Kajoran kemudian menikah dengan putri Sunan Tembayat. Dari perkawinan ini lahir beberapa tokoh besar, di antaranya RAy Kajoran yang diperistri oleh Panembahan Senapati, pendiri Mataram. Dari perkawinan Senapati dengan RAy Kajoran lahirlah dua tokoh penting: Adipati Rio Menggala Ponorogo dan Adipati Jayaraga Ponorogo. Dengan demikian, Jayaraga adalah cucu dari Sunan Kajoran, cicit dari Sayid Kalkum Adipati Ponorogo II dan putri Batoro Katong, serta buyut dari Sunan Ampel.

Untuk menumpas pemberontakan Jayaraga, Hanyakrawati mengutus dua adiknya, Pangeran Pringgalaya (Raden Mas Julig) dan Pangeran Mertalaya (Raden Mas Kaniten). Dengan restu keraton, keduanya berhasil menangkap Jayaraga dan membuangnya ke Nusa Barambang.

Peristiwa ini penting sebagai batu pijakan. Pertama, ia menunjukkan kapasitas Pringgalaya dan Mertalaya sebagai panglima militer. Kedua, ia memperlihatkan bagaimana Mataram menegaskan supremasi pusat terhadap daerah mancanegara. Pembuangan Jayaraga bukan sekadar hukuman politik, tetapi juga “ritual simbolik” untuk menghapus klaim darah yang dianggap mengancam pusat kekuasaan.

Mertalaya sebagai Tumenggung: Surabaya, Lamongan, dan Wirasaba

Setelah Sultan Agung naik tahta tahun 1613, peran Mertalaya makin menonjol. Ia diangkat menjadi Tumenggung (panglima tinggi) dan langsung memimpin operasi melawan gangguan keamanan di Surabaya (1611) dan ekspedisi Lamongan (1612). Ini bukan sekadar operasi militer biasa, melainkan persiapan awal menuju konfrontasi besar dengan aliansi pesisir timur.

Puncak ujian datang pada tahun 1615 ketika Sultan Agung memutuskan menyerbu Wirasaba, sebuah kadipaten kecil di timur yang dipimpin Pangeran Aria berusia 15 tahun. Meskipun masih belia, Adipati Wirasaba memiliki patih sakti bernama Rangga Pramana yang digambarkan kebal senjata. Mereka mendapat sokongan pasukan dari Surabaya dan Madura, dua kekuatan utama pesisir.

Mataram mengerahkan sekitar 10.000 prajurit dari pedalaman dan pesisir. Namun sebelum pertempuran, pasukan dilanda wabah pes. Sultan Agung memerintahkan mundur, tetapi Tumenggung Mertalaya menolak menyerah. Ia menyamar sebagai pencari rumput untuk memata-matai benteng Wirasaba, lalu menemukan celah strategis.

Dengan kecerdikan, ia memerintahkan pasukannya menyiapkan peralatan sederhana berupa cangkul, linggis, dan tangga. Serangan kedua pun dilancarkan hingga Wirasaba jatuh. Pangeran Aria berhasil ditangkap dan dieksekusi, sementara Rangga Pramana gugur dalam pertempuran. Peristiwa ini menegaskan reputasi Mertalaya sebagai seorang panglima yang berani sekaligus cerdik.

Dari perspektif historiografi kritis, jatuhnya Wirasaba menandai sebuah momen penting dalam sejarah Jawa. Perang pada tahap ini tidak lagi dapat dipahami semata sebagai konfrontasi senjata, melainkan juga sebagai pertarungan strategi, permainan intelijen, dan kemampuan memanfaatkan informasi lokal. Dalam kerangka budaya Jawa, langkah Mertalaya yang menyamar sebagai rakyat jelata dapat dibaca sebagai praktik “ngeli tanpa keli,” yakni membaur tanpa larut, sebuah siasat halus untuk menundukkan lawan melalui penyamaran dan keluwesan gerak.

Kuncen madiun

Pertempuran Siwalan dan Kematian Adipati Japan

Koalisi Brang Wetan tidak tinggal diam. Setelah Wirasaba jatuh, para adipati berkumpul di Surabaya untuk merancang serangan balasan. Mereka bahkan meminta restu Sunan Giri, meskipun ditolak. Strategi diperdebatkan: lewat Madiun atau Lasem? Intrik mata-mata Mataram akhirnya membuat pasukan Brang Wetan mengambil jalur Lasem dan Pati.

Sultan Agung segera mengerahkan pasukan besar di bawah komando Tumenggung Mertalaya dan Jaya Supanta. Pertempuran besar pecah di Siwalan. Dalam pertempuran ini, Mertalaya harus menghadapi pamannya sendiri: Adipati Mas Lontang, penguasa Japan sekaligus menantu Pangeran Surabaya, yang juga saudara Retno Dumilah.

Strategi Mertalaya luar biasa kejam tetapi efektif. Ia memancing musuh masuk ke desa-desa, lalu membakarnya. Banyak prajurit Brang Wetan mati lemas dalam kobaran api. Adipati Japan gugur, namun Sultan Agung memberi penghormatan dengan memakamkannya di Butuh dekat makam Raja Pajang, sebagai bentuk penghargaan bagi seorang pahlawan yang masih memiliki hubungan darah dengan Mataram.

Sengkalan “resi guna pancaningrat” (1537 Jawa/1615 M) dicatat untuk mengenang peristiwa ini. Historiografi Jawa mencatatnya bukan sekadar pertempuran, melainkan tragedi keluarga: kemenakan melawan paman, darah Mataram melawan darah Demak-Pajang. Inilah wajah perang saudara Jawa abad ke-17: penuh intrik, dendam, tetapi juga diikat oleh jaringan kekerabatan.

Perang

Ekspansi ke Lasem, Pasuruan, dan Tuban

Baca Juga : Kalender Jawa Senin Pon, 8 September 2025: Watak Weton, Rezeki, Jodoh, dan Hari Baik

Setelah kemenangan di Siwalan, ekspansi Mataram ke timur semakin tak terbendung. Lasem ditaklukkan tahun 1616 dengan relatif mudah. Setahun kemudian giliran Pasuruan.

Pasuruan saat itu diperintah Tumenggung Kapulungan, seorang penguasa yang awalnya gagah berani. Namun ketika pasukan Mataram tiba, keberaniannya runtuh. Ia melarikan diri bersama istri-istrinya ke Surabaya, meninggalkan pasukan tanpa pemimpin. Prajurit Pasuruan marah dan mencaci maki adipatinya, sebuah gambaran bagaimana legitimasi politik runtuh seketika ketika pemimpin kehilangan keberanian.

Mertalaya kembali tampil sebagai panglima utama. Ia menata pasukan dengan disiplin ketat dan melarang mereka melancarkan serangan kecuali pada hari Jumat, mungkin untuk memberikan nuansa religius dan spiritual pada ekspedisi militer tersebut. Akhirnya, Pasuruan jatuh tanpa perlawanan yang berarti.

Setelah itu, Tuban pun ditaklukkan dengan mudah. Adipati Tuban melarikan diri ke Madura. Dengan runtuhnya Tuban, jalur perdagangan penting di pesisir timur berada di bawah kendali Mataram.

Abdi jogja

Pringgalaya dan Blambangan: Jejak yang Samar

Jika Mertalaya tampil menonjol dalam catatan babad sebagai panglima militer, jejak Pangeran Pringgalaya lebih samar. Sumber Jawa menyebut ia terlibat dalam ekspedisi ke Blambangan, wilayah paling timur Jawa yang masih berakar kuat pada Hindu-Bali. Namun ada pula tradisi yang menyebut bahwa bukan Pringgalaya sendiri, melainkan putranya yang diasingkan ke wilayah itu karena kesalahan politik.

Apapun kebenarannya, keberadaan Pringgalaya dalam narasi ini tetap penting. Ia adalah simbol kesinambungan trah Senapati- Retno Dumilah, garis darah yang menjadi jembatan antara Mataram dengan dunia timur Jawa. Dalam genealogis politik, nama Pringgalaya dipertahankan untuk menegaskan legitimasi kekuasaan.

Martalaya

Ideologi, Spiritualitas, dan Dendam Sejarah

Penaklukan Brang Wetan tidak bisa dipahami hanya sebagai ekspansi militer. Ia harus dilihat dalam bingkai ideologi dan spiritualitas Jawa. Sultan Agung memandang dirinya bukan sekadar raja duniawi, tetapi juga “raja spiritual” yang mewarisi kekuatan wahyu kerajaan Jawa. Ekspansi ke timur adalah jalan untuk menegakkan “keselarasan kosmos” dengan menyatukan seluruh Jawa di bawah pusat Mataram.

Namun, di balik itu juga tersimpan dendam sejarah. Surabaya, Tuban, dan Pasuruan masih menganggap diri pewaris Demak. Mereka menolak tunduk pada Mataram yang dianggap pendatang dari pedalaman. Pertempuran di Siwalan, eksekusi Pangeran Aria Wirasaba, hingga jatuhnya adipati-adipati pesisir, adalah babak baru dalam perang panjang antara agraris pedalaman melawan kosmopolitan pesisir.

Peran Pringgalaya dan Mertalaya menunjukkan bagaimana trah Madiun (Retno Dumilah) dijadikan instrumen legitimasi Mataram. Dengan darah Madiun yang menyatu dengan Senapati, ekspansi ke timur memperoleh justifikasi genealogis. Dengan kata lain, penaklukan Brang Wetan adalah juga penaklukan atas warisan politik Pajang dan Demak melalui tangan cucu-cucu Retno Dumilah.

Abdi dalem

Catatan Historiografi: Antara Babad dan Fakta

Sumber utama mengenai peristiwa ini banyak berasal dari Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda, dua teks yang memadukan fakta sejarah dengan mitos serta legitimasi politik. Dari perspektif historiografi modern, narasi tersebut harus dibaca secara kritis. Angka pasukan yang disebutkan, misalnya sepuluh ribu atau bahkan seratus ribu, sering kali dilebih-lebihkan sebagai bagian dari gaya penulisan epik. Karakter tokoh seperti Rangga Pramana digambarkan kebal senjata, sesuatu yang khas dalam mitos kepahlawanan Jawa. Sementara itu, motif spiritual berupa larangan menyerang kecuali pada hari Jumat mencerminkan upaya menyatukan semangat jihad Islam dengan strategi politik.

Namun di balik lapisan mitos dan legitimasi itu, kisah Pringgalaya dan Mertalaya tetap memperlihatkan pola konsisten: Mataram menundukkan daerah-daerah dengan memadukan kekuatan militer, intrik politik, dan legitimasi spiritual. Historiografi kritis mengingatkan kita agar tidak hanya melihat mereka sebagai “pahlawan Mataram”, tetapi juga sebagai aktor yang bergerak di tengah pusaran konflik darah, ideologi, dan jaringan kekuasaan Jawa abad ke-17.

Perang

Catatan Akhir: Warisan Pringgalaya dan Mertalaya

Peran Pangeran Pringgalaya dan Tumenggung Mertalaya dalam sejarah penaklukan Brang Wetan menandai bab penting perjalanan Mataram. Mereka adalah wajah militerisasi Mataram di bawah Sultan Agung, sekaligus simbol genealogis yang menghubungkan trah Senapati dengan dunia timur Jawa.

Melalui strategi, keberanian, dan kecerdikan, mereka membuka jalan bagi Mataram menaklukkan Wirasaba, Surabaya, Pasuruan, Tuban, hingga Blambangan. Namun di balik kemenangan itu juga tersisa jejak darah, dendam, dan intrik keluarga yang membekas dalam ingatan sejarah Jawa.

Sultan Agung

Historiografi modern menilai peristiwa ini bukan semata kisah kejayaan militer, melainkan juga tragedi politik: paman melawan keponakan, saudara melawan saudara, pedalaman melawan pesisir. Pringgalaya dan Mertalaya adalah arsitek penaklukan, tetapi juga saksi dari betapa sejarah Jawa bergerak dalam pusaran kekuasaan, spiritualitas, dan dendam yang tak pernah tuntas.


Topik

Serba Serbi Kesultanan Mataran Pangeran Pringgalaya Pangeran Mertalaya kisah sejarah



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Gresik Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

Yunan Helmy